Senin, 13 Oktober 2014

Scene on Three [12]

Well, setelah berbulan-bulan vakum dari meme satu ini. Mari memulai kembali kebiasaan baik dengan produktif menulis dalam blog^^. Kali ini salah satu scene atau kejadian yang saya suka ada di novel "Pulang" karya Leila S. Chudori. Cerita dulu, perjalanan untuk mendapatkan novel ini panjang sekali. Ketertarikan pada novel ini dimulai pada awal tahun setelah banyak reviewer yang memberi 4 bintang. Sayangnya, saya selalu kurang beruntung untuk dapat novel ini. Selalu kehabisan stok di toko buku. Alhasil cuman bisa gigit jari. Bulan ini, BBI mengadakan lelang buku. Dan tebak!. Yup, novel ini menjadi salah satu novel yang dilelang. Saya nge-bid selama 3 hari dan harus bergadang sampai akhir penutupan lelang untuk buku ini. Tahukan rasanya dapat barang yang benar-benar diidam-idamkan?. Apalagi kalau yang diekspektasikan sama dengan hasilnya. Begitulah dengan novel ini, saya sangat puas memabacanya. Dengan tidak mengesampingkan isinya, kepuasan tersendiri dengan perjuangan untuk dapat buku ini. Stop cerita^^. Oke, scene yang saya suka adalah keadaan mencekam saat September 1965. Dimana orang-orang yang berhubungan ataupun disangka berhubungan dengan PKI ditangkap pemerintah. Salah satu surat Kenanga, salah satu karakter di novel, membuat saya merinding. Kenanga menceritakan kisah dirinya yang harus membersihkan bekas-bekas penyiksaan di tahanan tersangka yang dianggap ada hubungannya dengan PKI.
Di tahanan ini, Ibu ditanya terus-menerus. Setiap hari sampai capek. Sampai kedua mata ibu bengkak dan wajahnya kehitaman. Sementara Ibu ditanya dari pagi sampai malam, saya mendapat tugas menyapu, membersihkan beberapa ruangan setiap pagi.
Om, semula saya tidak tahu fungsi ruangan itu. Awalnya saya hanya membuang abu dan puntung rokok saja. Tetapi keesokan harinya saya harus mengepel bekas darah kering yang melekat di lantai. Saya yakin banyak sekali yang disiksa di sini karena saya mendengar suara jeritan orang-orang. Laki-laki, perempuan. Banyak sekali. Bergantian.
Sebulan yang lalu saya menemukan cambuk ekor pari yang masih berbekas darah. Saya terkejut. Gemetar. Menangis tak habis-habis. Saya tidak bisa langsung bercerita pada Ibu karena beliau tampak lelah dan sempat menderita demam untuk beberapa lama. Saya jadi susah makan karena mual-mual.
Sebagian isi surat Kenanga untuk Dimas tersebut cukup membuat saya bergidik membayangkan Kenanga yang masih remaja harus melihat dan mendengar siksaan di tahanan. Serta membayangkan orang-orang yang disiksa itu sendiri. Siapa yang tahu di luar sana banyak juga Kenanga lain yang mengalami hal serupa. Apa yang saya khawatirkan adalah kondisi psikologis Kenanga ini. Semenjak remaja sudah dikukung oleh rasa ketakutan dan dipaksa melihat kekejian. Jika ia tak memiliki ibu sekuat ibunya entah mungkin jadi apa Kenanga dewasa yang masa kecilnya diisi dengan ketakutan. Semoga Kenanga lain baik-baik saja!
 
Mau ikut Scene on Three juga?
  1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya ke dalam suatu post.
  2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
  3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
  4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
  5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31)

2 komentar:

  1. Trus itu dibahas juga efeknya saat dewasa? Belum baca Pulang aku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak terlalu dibahas sih, cuman Kenanga jadi sosok yang dewasa dan menyenangkan berkat dukungan ibunya yang kuat.

      Hapus