Jumat, 13 Mei 2016

Tentang Sebuah Film dan Puisi: AADC, Aku, dan Tidak Ada New York Hari Ini


Suatu pagi, seorang teman menepuk pundakku saat aku hendak membuka salah satu aplikasi chatting "hijau"  yang terkenal dengan stikernya.
"Loe udah tahu iklan "si hijau" yang nampilin Nicholas Saputra. Uh, akhirnya Nicholas muncul lagi setelah lama nggak ada di layar tv dan by the way, dia muncul bawa tema Ada Apa Dengan Cinta. Kayaknya nih, si Rangga bakal balik jadi fenomena! Dan Ada Apa Dengan Cinta bakal ada sekuelnya"
Itu adalah awal dari sebuah firasat akan munculnya proyek film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang kini-konon telah memuaskan dahaga 2 juta penonton Indonesia akan kenangan kisah Cinta & Rangga di awal tahun 2000-an. Berbicara film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), tentunya bagi generasi 90-an ke atas mengenal film fenomenal ini. Entah dengan kisah masa SMA Cinta dan teman-temannya yang keren kala itu atau hal tabu yang ditampilkan di film. Aku tidak akan membahas bagaimana kisah Cinta dan Rangga di AADC atau sekuelnya, tapi ada satu hal lain yang menarik perhatianku. PUISI.

Ada keterkaitan puisi dalam porsi besar di film AADC juga pengaruh dari kaitan tersebut dengan dunia perbukuan Indonesia. Tokoh Rangga dalam AADC adalah laki-laki yang menyenangi puisi dan membuat puisi. Tak jauh dengan sosok Cinta yang juga menyukai hal sama. Satu buku dan satu penyair yang seringkali tampil dalam scene AADC adalah Buku Aku yang merupakan kisah hidup dan kumpulan karya penyair Indonesia, Chairil Anwar. Dalam Aku ini termuat puisi dengan judul yang sama. Masih ingat dengan syair puisi tersebut? Satu kalimat yang selalu diingat oleh hampir setiap orang yang mengetahui puisi ini adalah
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

 Rangga dan Aku

Setiap orang mengingat satu cuplikan dari bait puisi Aku karya Chairil Anwar karena kalimat tersebut tak biasa diciptakan. Dimana ada orang yang menyebut dirinya sendiri sebagai binatang juga jalang? Terlepas dari makna puisi dari Aku, kembali menjejak pada fenomena AADC dan puisi, dahulu saat film tersebut menjadi terkenal tak pelak Buku Aku pun menjadi incaran para penonton AADC. Seorang Rangga dengan Aku di tangan adalah pemandangan yang menggugah naluri untuk menyukainya. Dan membuat penonton ingin juga membaca buku yang sering dibaca Rangga. Akhirnya buku yang dahulu hanya dibeli orang saat ada tugas dari guru Bahasa Indonesia atau konsumsi para pecinta Sastra saja, mulai dibeli oleh orang-orang karena Rangga. Secara tidak langsung "booming"-nya AADC yang dalam waktu kurun waktu tiga minggu dari pemuataran perdana telah mengumpulkan 1.3 juta penonton (source: Filmindonesia), juga membuat buku ini menjadi terkenal.

Aku karya Sjuman Djaya

Buku Aku karya Sjuman Djaya pertama kali terbit di tahun 1987 di bawah naungan PT Pustaka Utama Grafiti. Jauh di kemudian hari atau tigabelas tahun kemudian, tepatnya di Agustus tahun 2003, seolah ingin memenuhi keinginan para penonton AADC, kembali buku ini diterbitkan di bawah PT Metafor Intermedia Indonesia yang masuk di cetakan keduanya. Selanjutnya dua bulan kemudian di tahun yang sama, cetakan ketiga terbit (source: Fuad Hasan's Blog). Animo masyarakat terhadap AADC kala itu membuat penjualan buku juga pesat. Bila melihat hal tersebut, dapat ditarik garis lurus yang menghubungkan keterkenalan sebuah film dengan penerbitan buku yang terkait dengan film tersebut.

 Cinta dan Aku

Ketika aku bertanya pada beberapa teman generasi 90-an tentang puisi dan AADC, mereka akan langsung menjawab Buku Aku karya Sjuman Djaya. Pun saat aku menelusuri Aku di Goodreads sebagai salah satu wadah berkumpulnya para pembaca, secara umum para pembaca Aku akan tertarik membaca buku tersebut segera setelah menonton AADC (source: Goodreads).
Fenomena buku menjadi terkenal dan diterbitkan kembali dipicu oleh meledaknya sebuah film adalah hal yang saat ini sering terjadi di dunia perbukuan Indonesia. Sebut saja buku Sang Penari karya Ahmad Tohari yang dikompilasi dari tiga novel terpisah (Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari) diterbitkan kembali dan terkenal (kembali?) di Tahun 2011setelah sebuah film dengan judul yang sama ditayangkan di layar lebar. Atau buku The Miracleous Journey of Edward Tulane yang kembali terbit setelah Drama Korea Yow Who Came From The Stars muncul. Bukankah fenomena ini dapat juga dikaitkan dengan ketertarikan warga Indonesia terhadap membaca? Artinya, ketika sebuah film yang melejit membawa sebuah judul buku yang disoroti di filmnya, maka penonton yang menggandrungi film tersebut juga akan merasa penasaran dan ingin membaca buku yang menjadi sorotan tersebut. Penonton berbondong-bondong mencari buku. Selanjutnya penerbit akan menerbitkan buku tersebut dalam jumlah banyak atau sesuai yang diminta dari konsumen. Buku pun akan menjadi terkenal atau terkenal kembali. Maka ramailah dunia perbukuan Indonesia dengan buku tersebut selama beberapa kurun waktu atau selama diingat sejarah.

Mari berpijak pada rasa penasaran penonton yang besar akan buku yang menjadi sorotan, di kemudian hari rasa pensaran mereka akan membawa pada keinginan membaca. Yang awalnya tak membaca buku tersebut, akibat penasaran dan ingin, maka ia membaca. Meningkatlah inginnya membaca seseorang pada sebuah buku. Intinya, secara tidak langsung ada keterkaitan erat melejitnya film dengan minat baca masyarakat.

AADC 2 Poster

Desember 2015 kembali AADC yang kala itu diputuskan dibuat sekuelnya atau AADC 2, memunculkan nama Aan Mansyur sebagai si penyair di balik puisi-puisi yang akan mengisi AADC 2. Nama Aan Mansyur di dunia penyair sudah dikenal melalui karyanya seperti Kukila dan Melihat Api Bekerja. Aku sendiri mengenal karya Aan melalui Kukila yang menurutku karyanya selalu mengandung twist. Di sosial media seperti twitter dan instagram kerap kali Aan memposting tentang karyanya yang berupa puisi dan tempat kerjanya di sebuah perpustakaan bernama Kata Kerja. Aan juga masuk jajaran orang "The Next Big Things in Indonesian Culture" versi Jakarta Globe.


 Tidak Ada New York Hari Ini

Kukira AADC 2 membentangkan sayap karya Aan Mansyur ke khalayak ramai, ke warga Indonesia, ke penonton-yang-penasaran-pada-buku-karena-film-yang-mereka-tonton-dan-sebelumnya-belum-membaca-karya-Aan. Aan pun didaulat mengeluarkan kumpulan puisi berdasarkan AADC2, maka muncul buku kompilasi antara seni potret dengan seni puisi, Tidak Ada New York Hari Ini. Dan lagi-lagi, buku ini menjadi ramai diperbincangkan di dunia perbukuan Indonesia setelah puisi dengan judul yang sama dibawakan sosok Rangga di AADC 2. Tidak Ada New York Hari Ini menjadi serbuan para penonton dan pembaca. Banyak yang mencari dan banyak yang membeli, menjadikan buku tersebut "nangkring" di tangga buku populer atau pun terlaris di beberapa toko buku.




 Tidak Ada New York Hari Ini yang jadi "Box Office" di beberapa toko buku online

Fenomena pun terjadi lagi, film membawa buku lebih dikenal. Memandang hal ini, aku berpikir sisi positifnya adalah hal ini juga meningkatkan minat masyarakat terhadap membaca. Aku berharap kelak dengan fenomena ini juga masyarakat akan berbondong-bondong kembali menyukai puisi. Bukan sekedar booming puisi yang sesaat.
Melintas juga dalam pikiranku, apa mungkin meningkatkan geliat minat baca dan perbukuan Indonesia itu  butuh sosok vokal atau terkenal yang membantu? Semacam endorse? Rasanya, ya butuh mereka juga untuk memperkenalkan semangat membaca. Ingat program membacanya pemilik Facebook? Berjuta-juta pengguna sosial media satu ini ikut programnya. Hanya saja, sekali lagi mari berharap bahwa pengaruh membaca bukan untuk diambil keuntungan oleh pihak-pihak tertetntu meskipun tentunya menguntungkan pihak-pihak tertentu juga.
Ya, semacam pisau bermata dua.








4 komentar:

  1. Yup kita pandang dari sisi positifnya, buku dan film sama-sama mendukung. Buku semata, menurut saya, belum kuat untuk bisa menopang dirinya sendiri di Indonesia ini. Ini industri yang lesu dengan segmen pasar tidak banyak sehingga diperlukan upaya-upaya kreatif macam ini.

    BalasHapus
  2. memang orang itu senengnya latah ya :D sebenernya nggak papa juga ya, siapa tau dari sekian banyak orang yang membeli buku2 karena nonton AADC, lalu bisa keterusan menjadi pencinta buku bahkan peresensi buku XD

    BalasHapus
  3. Aku mau komentari komentar (comentary-ception) Mba Astrid di atas yang menyebut orang latah (yang sepertinya lebih ke hal yang negatif). Aku baru saja baca "Tidak Ada New York Hari Ini" dan, well, aku emang latah. Tapi setelah itu, aku jadi mau kulik lebih dalam puisi-puisi Aan Mansyur karena mungkin bakal ada aliran Aanisme seperti yang aku jabarkan pada ulasan bukunya.

    Dan, well, Kak Siro, jangan pungkiri kalau emang Indonesia lebih suka visual daripada tekstual. Jadi, yah, orang Indonesia yan datang ke bioskop jauh-jauh-jauh lebih banyak daripada yang datang ke toko buku atau perpustakaan. Itu pengamatanku sih. Hehe.

    BalasHapus